MENGUPAS
MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SIMBOLISME NASI TUMPENG DENGAN MENGGUNAKAN
PENDEKATAN HERMENEUTIK
Tugas
Akhir Mata Kuliah
Filsafat
Ilmu
Program
Studi Magister Pendidikan
Universitas
Pelita Harapan
Oleh
:
Marcia
Tadjuddin
6920090047
Daftar
Isi
Judul Halaman
A. Abstrak 1
B. Pendahuluan 1
C. Ulasan
1.
Tiga komponen dalam pendekatan
hermeneutik: teks, penulis 2
dan
penafsir.
2.
Lingkaran hermeneutik 1:
menginterpretasi makna berdasarkan 3 agama dan ketuhanan.
3.
Lingkaran hermeneutik 2:
menginterpretasi makna berdasarkan 6 hubungan dengan alam.
4.
Lingkaran hermeneutik 3:
menginterpretasi makna berdasarkan 10 hubungan sosial kemasyarakatan.
D. Komentar
Penulis 12
E. Daftar
Referensi 13
MENGUPAS
MAKNA YANG TERKANDUNG DALAM SIMBOLISME NASI TUMPENG DENGAN MENGGUNAKAN
PENDEKATAN HERMENEUTIK
A.
Abstrak
Nasi
tumpeng, atau banyak dikenal luas dengan “tumpeng” saja adalah
sajian
khas yang banyak dijumpai dalam berbagai acara perayaan atau “selamatan” baik
di desa-desa maupun di kota-kota besar di pulau Jawa sampai sekarang. Seperti
halnya acara syukuran dan selamatan dalam kebudayaan Jawa yang sarat akan
makna, begitupun dengan tumpeng yang biasanya menjadi ikon penting dalam
acara-acara tersebut.
Walaupun banyak diakui sebagai simbol
penting dalam sebuah acara syukuran atau selamatan, namun sebenarnya tidak
banyak orang yang benar-benar mengerti makna dibalik simbol itu; bahwa tumpeng
mengandung makna-makna mendalam yang mengangkat hubungan antara manusia dengan
Tuhan, dengan alam dan dengan sesama manusia.
B.
Pendahuluan
Bentuknya
yang khas dan penampilannya yang cantik dan menarik memang sangat pantas untuk
disajikan di kesempatan-kesempatan istimewa dan menjadikan tumpeng salah satu
benda wajib yang harus hadir dalam acara syukuran atau selamatan. Selain itu
variasi lauk pauk dan rasanya yang gurih dan nikmat sudah lama menjadi santapan
favorit dan terkenal sampai ke negara-negara tetangga.
Dengan
reputasi seperti itu, tak heran bila keberadaan dan popularitas tumpeng masih
bertahan di tengah-tengah masyarakat modern sekarang ini. Masih banyak
lembaga-lembaga pendidikan kuliner yang menawarkan kursus memasak dan menghias
tumpeng. Buku-buku masakan tentang cara memasak nasi tumpeng dan lauk-pauknya
serta membuat hiasan pelengkapnya juga banyak diterbitkan dan dijual di
toko-toko buku. Namun lembaga pendidikan kuliner dan buku-buku masak kebanyakan
mengajarkan tentang tumpeng dengan menitik beratkan pada “form” atau
bentuknya saja. Bahan-bahannya adalah berkut ini, demikianlah cara memasaknya,
harus dibentuk seperti ini, dst. Tentu saja dengan begitu “form” atau
bentuk tumpeng akan terjaga kelangsungannya dari generasi ke generasi.
Tetapi
bagaimana dengan “meaning” atau makna? Ketika acara syukuran atau
selamatan dihadiri tamu dari negeri lain, tuan rumah dengan bangga akan
menyuguhkan nasi tumpeng kepada mereka sambil memberikan informasi bahwa ini
adalah makanan tradisional yang hanya disuguhkan pada acara tertentu dan dengan
fasih menyebutkan satu persatu jenis lauk pauk, terbuat dari bahan apa dan
bagaimana cara memasaknya. Namun ketika tamu dari negeri lain ini menanyakan
apa arti tumpeng, mengapa dibentuk seperti itu, mengapa disertai lauk-pauk
sedemikian, mengapa hanya disuguhkan pada acara-acara syukuran dan selamatan,
tidak sedikit tuan rumah (dan masyarakat kebanyakan) yang kemudian terpaku
sambil menjawab, “Wah, kalau itu saya tidak tahu.”
Tulisan
ini ingin mengupas makna-makna yang terkandung dalam simbolisme tumpeng dengan
menggunakan pedekatan hermeneutik. Interpretasi dan penjelasan makna-makna akan
diulas dalam lapisan-lapisan lingkaran hermeneutik.
C.
Ulasan
1.
Tiga komponen dalam pendekatan
hermeneutik: teks, penulis dan penafsir.
a.
Teks
Yang
dirujuk sebagai teks disini adalah objek penginterpretasian makna tersebut,
yaitu nasi tumpeng. Tumpeng, dengan penyusun utama nasi yang dibentuk kerucut,
merupakan makanan komponen pengiring tradisi. Sebenarnya banyak jenis nasi tumpeng
yang disajikan sesuai dengan acaranya, antara lain: Tumpeng Robyong (untuk
upacara siraman atau perkawinan adat Jawa), Tumpeng Nujuh Bulan (untuk upacara
syukuran kehamilan yang mencapai usia tujuh bulan, Tumpeng Tasyakuran, Tumpeng
Selamatan atau kematian, Tumpeng Medekingan (untuk upacara kelahiran anak
ganjil) dan Tumpeng Pungkur (untuk upacara kematian wanita/pria lajang yang
belum menikah). Perbedaannya terletak pada variasi lauk pauk dan warna nasi.
Untuk menghindari ulasan yang terlalu kompleks, tulisan ini akan mengambil
komponen-komponen yang umum dari berbagai jenis tumpeng di atas sebagai teks.
b.
Penulis
Penulis
disini adalah yang empunya nasi tumpeng, atau masyarakat dan kebudayaan dimana
nasi tumpeng berasal, yaitu kebudayaan dan masyarakat Jawa. Dalam masyarakat
Jawa, tumpeng harus ada dalam banyak tradisi mulai dari sejak dalam kandungan,
kelahiran, hajatan, hingga kematian. Masyarakat di Pulau Jawa memandang tumpeng
sebagai simbolisasi yang bersifat sakral. Tulisan ini akan banyak merujuk pada
kebudayaan Jawa sebagai dasar penafsiran makna dari simbolisasi nasi tumpeng.
c.
Penafsir
Posisi
penafsir dalam tulisan ini diberikan kepada penulis yang menulis makalah ini
beserta penafsir-penafsir lain yang menjadi sumber referensi. Ide-ide dari
penafsir lain ini akan menjadi bahan penghubung dan pembentuk penafsiran makna
atas simbol-simbol yang terdapat dalam nasi tumpeng.
2.
Lingkaran hermeneutik 1:
menginterpretasi makna berdasarkan agama dan ketuhanan.
Melihat
bentuk khas nasi tumpeng yang kerucut meruncing ke atas, yang akan terlintas di
pikiran orang adalah kemiripan bentuknya dengan gunung. Hal ini tidak sama
sekali melenceng. Kata tumpeng memang berasal dari Bahasa Jawa yang padanan
katanya sama dengan gunung. Asal muasal bentuk tumpeng ini ada dalam mitologi
Hindu, di epos Mahabarata. Perlu diingat bahwa walaupun mayoritas masyarakat
Jawa sekarang beragama Islam, masih banyak tradisi masyarakat yang berpijak
dari akar-akar agama Hindu.
Gunung, dalam kepercayaan Hindu adalah
awal kehidupan, karenanya amat dihormati. Dalam Mahabarata dikisahkan tentang
Gunung Mandara, yang dibawahnya mengalir amerta atau air kehidupan. Yang
meminum air itu akan mendapat mendapat keselamatan. Inilah yang menjadi dasar
penggunaan tumpeng dalam acara-acara selamatan.
Selain
itu gunung bagi penganut Hindu diberi istilah méru, representasi dari sistem
kosmos (alam raya). Jika dikaitkan dengan bagian puncak tumpeng, maka ini
melambangkan Tuhan sebagai penguasa kosmos. Ini menjelaskan bahwa acara-acara
selamatan dimana tumpeng digunakan selalu dikaitkan dengan wujud syukur,
persembahan, penyembahan dan doa kepada Tuhan.
Selain
pengaruh dari agama Hindu, bentuk tumpeng ini juga dipengaruhi oleh agama atau
kepercayaan masyakarat Jawa yang dikenal dengan nama kejawen. Masyarakat
Jawa sendiri sebenarnya lebih menganggap kejawen sebagai seperangkat cara
pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (perilaku).
Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat seperti
aturan-aturan agama pada umumnya, tetapi menekankan pada konsep
"keseimbangan". Praktek ajaran ini biasanya melibatkan benda-benda
tertentu yang memiliki arti simbolik.
Gunung
berarti tempat yang sangat sakral oleh masyarakat Jawa, karena memiliki kaitan
yang erat dengan langit dan surga. Bentuk tumpeng bermakna menempatkan Tuhan
pada posisi puncak yang menguasai alam. Bentuk kerucut gunungan (méru) ini juga
melambangkan sifat awal dan akhir, simbolisasi dari sifat alam dan manusia yang
berawal dari Tuhan dan akan kembali lagi (berakhir) pada Tuhan.
Sebagian
besar upacara yang diselenggarakan dalam kebudayaan Jawa adalah bagian dari
ritual kejawen sehingga tentu saja pengadaan tumpeng dan posisinya yang
penting dalam sebuah upacara sangat berkaitan erat dengan makna simbolis yang
terkandung dalam tumpeng itu.
Selain
dari bentuk, kita juga bisa menginterpretasikan makna dibalik warna nasi tumpeng.
Ada dua warna dominan nasi tumpeng yaitu putih dan kuning. Bila kita kembali
pada pengaruh ajaran Hindu yang masih sangat kental di Jawa, warna putih
diasosiasikan dengan Indra, Dewa Matahari. Matahari adalah sumber kehidupan
yang cahayanya berwarna putih. Selain itu warna putih di banyak agama
melambangkan kesucian. Warna kuning melambangkan rezeki, kelimpahan,
kemakmuran.
Melihat hubungan antara makna dibalik
bentuk tumpeng dan warna nasi tumpeng, keseluruhan makna dari tumpeng ini
adalah pengakuan akan adanya kuasa yang lebih besar dari manusia (Tuhan), yang
menguasai alam dan aspek kehidupan manusia, yang menentukan awal dan akhir,
Wujud nyata dari pengakuan ini adalah sikap penyembahan terhadap Sang Kuasa dimana
rasa syukur, pengharapan dan doa dilayangkan kepadaNya supaya hidup semakin
baik, menanjak naik dan tinggi seperti halnya bentuk kemuncak tumpeng itu
sendiri.. Jadi tumpeng mengandung makna religius yang dalam sehingga
kehadirannya menjadi sakral dalam upacara-upacara syukuran atau selamatan.
Berikut
ini adalah contoh-contoh jenis-jenis tumpeng yang membawa pengharapan atau doa
tertentu kepada Sang Kuasa:
1.
Tumpeng Dlupak yang puncak tumpengnya
dibuat cekung (seperti posisi tangan ketika berdoa) bermakna agar keinginan dan
harapan si empunya hajat dikabulkan. Tumpeng Punar digunakan agar kehidupan
keluarga cerah, seperti menyambut kehadiran anak.
2.
Tumpeng Kendhit dipakai saat pemilik
hajat memohon jalan keluar dari gangguan, kesulitan hidup, dan keselamatan dari
ancaman roh jahat.
3.
Tumpeng Robyong dibuat agar si pemohon
selalu diobyong-obyong atau dikelilingi sanak saudara tercinta.
4.
Tumpeng Among-among bermakna untuk
minta perlindungan pada Tuhan untuk keselamatan anak cucu.
3.
Lingkaran hermeneutik 2: menginterpretasi
makna berdasarkan hubungan dengan alam.
Kehidupan orang Jawa sangat lekat
dengan alam. Mereka sadar bahwa hidup mereka bergantung dari alam. Banyak
pelajaran yang menjadi pedoman hidup sehari-hari yang mereka ambil dari alam.
(Ch dan Sudarsono, 2008) Penempatan dan pemilihan lauk pauk dalam tumpeng juga
didasari akan pengetahuan dan hubungan mereka dengan alam.
Nasi tumpeng yang berbentuk kerucut
ditempatkan di tengah-tengah dan bermacam-macam lauk pauk disusun di sekeliling
kerucut tersebut. Penempatan nasi dan lauk pauk seperti ini disimbolkan sebagai
gunung dan tanah yang subur di sekelilingnya. Tanah di sekeliling gunung
dipenuhi dengan berbagai macam lauk pauk yang menandakan lauk pauk itu semuanya
berasal dari alam, hasil tanah. Tanah menjadi simbol kesejahteraan yang hakiki.
Kebanyakan penghasilan orang Jawa
diperoleh dengan bercocok tanam. Dengan banyaknya gunung yang terdapat di pulau
Jawa dan jenis tanah vulkanik yang subur dan ideal untuk bercocok tanam, banyak
orang Jawa yang tinggal disekitar daerah gunung dimana mereka menanam padi,
sayur-sayuran, buah-buahan dan memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing,
domba, sapi atau kerbau. Jadi hampir seluruh kebutuhan hidup mereka didapatkan
dari tanah di sekitar gunung. Oleh karena itulah lauk-pauk ditempatkan di
sekeliling nasi karena memang dari sanalah mereka berasal.(tanah di sekitar
gunung).
Selain
penempatannya, pemilihan lauk juga didasari oleh kebijaksanaan yang didapat
dari belajar dari alam. Tumpeng merupakan simbol ekosistem kehidupan. Kerucut nasi
yang menjulang tinggi melambangkan keagungan Tuhan Yang Maha Pencipta alam
beserta isinya, sedangkan aneka lauk pauk dan sayuran merupakan simbol dari isi
alam ini. Oleh karena itu pemilihan lauk pauk di dalam tumpeng biasanya mewakili
semua yang ada di alam ini (Shahab, 2006). Bila kita kembali sejenak pada
pembahasan tentang agama dan kepercayaan, dalam kepercayaan Hindu-Jawa alam
terdiri dari alam tumbuh-tumbuhan, alam binatang, dan alam manusia. Di sini,
alam tumbuh-tumbuhan diwujudkan melalui bahan-bahan, misalnya kacang panjang dan
sayur kangkung. Alam fauna dapat berasal dari dua unsur: darat dan air, dan diwujudkan
melalui daging hewan seperti ayam, kambing, sapi dan jenis jenis ikan. Adapun
alam manusia diwujudkan dalam bentuk keseluruhan nasi tumpeng itu sendiri,
yaitu makhluk yang bergantung pada tuhan dan alam.
Urap
sayuran merupakan jenis menu yang umum dipilih yang dapat mewakili tumbuhan
darat. Jenis sayurnya tidak dipilih begitu saja karena tiap sayur juga
mengandung perlambang tertentu. Sayuran yang harus ada adalah:
Kangkung
Sayur ini bisa tumbuh di air dan di darat, begitu juga yang
diharapkan pada manusia yang harus sanggup hidup di mana saja dan dalam kondisi
apa pun.
Bayam
Bayam mempunyai warna hijau muda yang menyejukkan dan bentuk daunnya sederhana
tidak banyak lekukan. Sayur ini melambangkan kehidupan yang ayem tenterem (aman
dan damai), tidak banyak konflik seperti sederhananya bentuk daun dan sejuknya
warna hijau pada sayur bayam.
Taoge.
Taoge
muncul keluar dari biji kacang hijau. Di dalam sayur kecil ini terkandung makna
kreativitas tinggi. Seseorang yang selalu memunculkan ide-ide baru adalah
seseorang yang kreativitasnya tinggi dan bisa berhasil dalam hidupnya. Taoge
juga jenis sayuran yang sangat mudah dihasilkan. Ini mengandung pengharapan
bahwa manusia dapat terus berkembang, mempunyai anak cucu.
Kacang
Panjang
Kacang
panjang harus hadir utuh, tanpa dipotong. Maksudnya agar manusia hendaknya selalu
berpikir panjang sebelum bertindak. Selain itu kacang panjang juga melambangkan
umur panjang. Kacang panjang utuh umumnya tidak dibuat hidangan, tetapi hadir
sebagai hiasan yang mengelilingi tumpeng atau ditempelkan pada badan kerucut.
Dari
lauk pauk wakil dari alam fauna, sepertinya lauk yang mewakili unsur air yang
banyak mengandung makna yang bisa diterapkan dalam kehidupan. Ikan sudah bisa
dipastikan mewakili hewan air. Ada tiga jenis ikan yang bisa dipakai untuk
melengkapi jenis lauk-pauk yang terdapat di dalam tumpeng:
Ikan
lele.
Hewan
ini melambangkan kerendahan hati sesuai dengan kebiasaan hidup ikan lele yang
selalu berenang di dasar sungai. Kebiasaan hidup lele juga diharapkan akan
diterapkan dalam kehidupan karier manusia, yakni agar tidak sungkan meniti
karier dari bawah.
Ikan
bandeng.
Ikan
bandeng terkenal dengan duri-duri halusnya yang jumlahnya seperti tidak
terbatas. Hampir setiap gigitan, hampir bisa dipastikan ada duri di dalamnya. Melalui
hidangan ini orang berharap setiap saat bisa mendapat rezeki dan jumlahnya
selalu banyak atau bertambah seperti duri ikan bandeng.
Ikan
teri.
Ikan
teri ukurannya sangat kecil dan mudah menjadi santapan ikan yang leih besar
apabila ia berenang sendirian. Oleh karena itu ikan teri hidupnya selalu
bergerombol. Ini mengingatkan manusia bahwa mereka tidak bisa hidup sendiri.
Mereka adalah makhluk yang lemah dan membutuhkan bantuan orang lain untuk
hidup. Dengan demikian, ikan teri melambangkan kerukunan dan kerjasama yang
harus dibina sesama manusia.
Satu lagi jenis lauk pauk yang biasanya
hadir melengkapi tumpeng adalah telur. Telur biasanya didadar atau dipindang.
Sebetulnya telur dalam tumpeng harus hadir utuh bersama kulitnya karena kulit
telur, putih telur, dan kuning telur melambangkan tindakan yang manusia harus
lakukan dalam kehidupan yakni menyusun rencana dengan baik, bekerja sesuai
rencana, dan mengevaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
Dari berbagai penjelasan di atas,
terlihat jelas bahwa pemilihan bentuk dan lauk pauk pelengkap tumpeng bukan
sekedar kebetulan atau tanpa alasan. Dasar dasar pemilihannya sangat erat
kaitannya dengan hubungan dan pengertian manusia akan alam. Bahkan dari
observasi sederhana yang jauh dari penjelasan ilmiah, manusia bisa belajar
banyak hal dari alam. Hal ini dinyatakan jelas oleh tumpeng. Setiap kali
tumpeng hadir dalam sebuah acara, kita diingatkan kembali akan hubungan kita
dengan alam dan pelajaran hidup yang kita peroleh dari alam.
4.
Lingkaran hermeneutik 3:
menginterpretasi makna berdasarkan hubungan sosial kemasyarakatan.
Penjelasan pada bagian ini sudah keluar
dari makna simbolis dari bentuk tumpeng itu sendiri. Bagian ini lebih menyorot
makna yang tersirat dari pelaksanaan tradisi tumpeng itu.
Puncak sebuah upacara dimana terdapat
tumpeng didalamnya ditandai dengan pemotongan bagian teratas atau terlancip
kerucut nasi tumpeng tersebut. Pemotongan ini biasanya dilakukan oleh orang
yang paling dituakan atau dihormati di komunitas dimana upacara itu
dilaksanakan. Ini menyiratkan bahwa masyarakat Jawa adalah masyarakat yang
masih memegang teguh nilai nilai kekeluargaan dan memandang orang tua sebagai
figur yang sangat dihormati.
Hal ini tercermin dalam ungkapan Jawa mikul
dhuwur mendhem jero yang mengandung nasihat kepada anak untuk memperlakukan
orang tuanya secara baik. Anak di sini bisa diartikan sebagai anak keturunan,
generasi muda atau bawahan, sedangkan orang tua bisa diartikan orang tua dalam
hubungan darah, orang yang usianya lebih tua, para pendahulu yang pernah
berjasa, para pemimpin atau atasan. Mikul dhuwur (memikul tinggi)
memiliki arti menghormati setinggi-tingginya dan mendhem jero (menanam
dalam-dalam) artinya menghargai sebaik-baiknya atau penghargaan yang mendalam
terhadap seseorang (Suratno dan Astiyanto, 2009).
Hal ini terwujud ketika orang yang
dituakan memotong ujung kerucut tumpeng dan semua yang hadir memperhatikan dan
mengikuti dengan seksama. Ujung kerucut nasi tumpeng adalah bagian yang paling
penting dari tumpeng dan diperuntukkan khusus untuk orang yang dituakan sebagai
tanda hormat dan bakti. Setelah bagian itu dipotong, barulah yang lain
menikmati bagian tang tersisa dari nasi tumpeng tersebut (bagian bawah
kerucut).
Dalam tradisi awalnya, upacara dalam
adat Jawa merupakan upacara yang melibatkan seluruh desa atau kampung. Begitu
mengetahui tetangganya mengadakan upacara syukuran atau selamatan, sanak
saudara, kenalan dan orang yang tinggal sekitar tempat acara syukuran diadakan
akan datang menawarkan bantuan tanpa diminta. Mereka terlibat langsung mulai
dari persiapan sampai dengan berakhirnya acara tersebut. Dengan demikian,
seluruh komponen upacara tersebut adalah atas hasil usaha bersama.
Hal ini merupakan hal yang lazim
terjadi dalam hubungan kemasyarakatan orang Jawa yang menjunjung tinggi asas
gotong royong. Ada ungkapan Jawa yang berbunyi urip tulung tinulung (Suratno
dan Astiyanto, 2009) yang berarti bahwa dalam hidup, orang harus saling tolong
menolong. Ajaran ini berangkat dari pandangan bahwa seseorang tidak mungkin
hidup seorang diri. Sudah merupakan kodrat seorang manusia yang membutuhkan
orang lain. Oleh karena itu kita harus hidup saling tolong menolong.
Hal ini berhubungan dengan ungkapan
lain, yaitu nandur kebecikan, males budi (menanam kebaikan membalas
budi). Konsep nandur kebecikan merupakan peringatan agar seseorang tidak
bersikap individualis atau sombong. Pengertian ungkapan ini juga mengandung
ajaran filosofis bahwa orang yang menanam pasti akan memetik hasilnya. Bila
menanam kebaikan, pasti akan memetik kebaikan pula (baik di dunia ataupun di
akhirat). Keyakinan ini membuahkan sikap murah hati untuk berbuat baik terhadap
orang lain. Bila kita menerima kebaikan dari orang lain, hendaknyalah kita males
budi atau membalas budi sehingga jangan sampai kita hidup dengan berhutang
jasa atau kebaikan terhadap orang lain. Nilai nandur kebecikan, males budi
yang tertanam dalam masyarakat akan menciptakan hubungan social kemasyaratkan
yang sangat harmonis yang salah satunya diwujudkan dalam sikap gotong royong
dalam mempersiapkan dan menjalankan sebuah upacara syukuran atau selamatan.
D.
Komentar Penulis
Tumpeng
sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat
Indonesia, khususnya ketika memperingati momen dan peristiwa penting. Dimulai
dari masyarakat di pulau Jawa, Madura dan Bali, kini penggunaan tumpeng sudah
menyebar ke bagian pelosok nusantara lainnya bahkan ke mancanegara seperti
Malaysia, Singapura bahkan Belanda. (dikenal dengan nama rijstafel).
Sayangnya
penyebaran tumpeng yang begitu pesat dan meluas tidak dibarengi dengan makna
filosofis yang terkandung didalamnya.
Bagaikan kotak hadiah yang tampak cantik dari luar namun orang lupa
menaruh hadiah di dalamnya, maka berapapun cantik kotak hadiah tersebut, tidak
akan punya arti apa-apa. Analogi inilah yang kira-kira terjadi pada tumpeng.
Banyak orang yang tahu apa itu tumpeng tetapi tidak tahu artinya.
Padahal
melihat penjelasan dalam tulisan ini, begitu saratnya makna yang dikandung
tumpeng sehingga bila makna ini dipahami dan diresapi maka setiap kali tumpeng
hadir dalam setiap upacara, manusia diingatkan lagi akan kekuasaan Sang
Pencipta Alam, pentingnya menjaga keharmonisan dengan alam dan mempelajari
nilai nilai hidup darinya serta mempertahankan asas gotong royong, urip
tulung tinulung dan nandur kebecikan, males budi yang menjadi dasar
kerukunan dan keharmonisan hidup bermasnyarakat.
Jika dilihat secara
keseluruhan, makna-makna inilah yang menjadi identitas budaya dan masyarakat
Jawa (dan Indonesia pada umumnya) sehingga hadirnya tumpeng juga mengingatkan
kita tentang siapa kita dan apa yang membuat bangsa kita berbeda dari bangsa
lain. Dengan begitu, tumpeng juga merupakan salah satu perangkat identitas
nasional yang harus dijaga dan dilestarikan, bukan dalam hal bentuk tumpengnya
saja melainkan juga makna-makna atau nilai nilai yang terkandung di dalamnya.